Detail Cantuman
Advanced SearchText
MANAJEMEN KEPEMILUAN
Buku ini terdiri atas lima bab meliputi (bab 1) pemilu, demokrasi, dan kesejahteraan; (bab 2) kerangka teori manajemen kepemiluan, (bab 3) proses manajemen pemilu, (bab 4) bidang tugas manajamen pemilu, dan (bab 5) kepemimpinan dalam manajemen pemilu.
Sub judul Pemilu, Demokrasi, dan Kesejahteraan dibahas lebih awal untuk menegaskan bahwa manajemen penyelenggaraan pemilu harus diposisikan di atas paradigma tidak semata-mata urusan teknis manajerial, tapi jauh dari itu yakni untuk menjamin hadirnya asas-asas asas-asa pemilu sebagai bagian dari asas-asas demokrasi sebagai wasilah untuk memberi rasa aman (melindungi) dan kesejahteraan (menyuapi) bagi rakyat. Bab II (kerangka teori manajemen pemilu) berfungsi untuk merumuskan kerangka berfikir tentang manajemen kepemiluan sebaga acuan dalam menyusun bab III, bab IV, dan bab V.
Sistematika seperti itu menjelaskan bahwa penulisan buku ini dipandu oleh teori manajmen dan wawasan demokrasi yang berdimensi demokrasi politik dan berdimensi demokrasi sosial (democratic welfare). Pada bagian pembahasan demokrasi, ditambahkan informasi tentang segi-segi kecocokkan antara nilai-nilai dasar demokrasi dengan nilai-nilai dasar Islam
Pembahasan pada keseluruhan buku merupakan ekspresi keyakinan, pemahaman, dan pengalaman penulisnya tentang kepemiluan, demokrasi, dan Islam. Dalam konteks ekspresi inilah arti anak judul Refleksi Makna Pemilu dan Demokrasi.
Pemilu dalam Demokrasi
Dilihat dari segi pelembagaan asas-asas demokrasi, pemilu merupakan salah satu wujud prosedur demokrasi. Asas-asas atau prinsip-prinsip demokrasi antara lain meliputi asas kebebasan (liberty), persamaan (equality), kekuasaan mayoritas (majority rule), toleransi, keadilan (justice), hukum dan keteraturan, akuntabilitas publik, transparansi, perundang-undangan (rule of law), dan pluralisme. Asas-asas ini merupakan nilai dasar yang bersifat universal sebagai sumber paradigma dalam menkoseptualiasikan dan mengimplementasikan demokrasi ke dalam sistem kenegaraan dan pemerintahan (h. 3).
Dalam menyusun konsep implementasi prinsip-prinsip itu di suatu bangsa atau masyarakat mungkin mengalami kerumitan pilihan dan prioritas mengenai prinsip-prinsip mana yang didahulukan ketika berhadapan dengan realitas tingkat kompleksitas permasalahan suatu masyarakat dan bangsa. Dalam menentukan pilihan dan prioritas penerapan asasasas demokrasi, relevan untuk dijawab terlebih dahulu suatu pertanyaan untuk apa suatu masyarakat dan bangsa memerlukan kebebasan (misalnya) dan digunakan untuk kepentingan apa dalam konteks realitas bangsanya. Jawaban atas pertanyaan ini akan menunjukkan perbedaan prioritas dan pilihan sesuai kondisi suatu bangsa. Misalnya, prinsip keamanan dan ketertiban sosial menjadi prioritas di suatu bangsa yang sedang menghadapi ketidakteraturan dan ketidaktertiban sosial semacam Indonesia dewasa ini, sementara di masyarakat lainnya prinsip keadilan dan kesejahteraan sosial menempati urutan teratas ketika masyarakatnya menghadapi situasi perilaku korup, ketidakadilan, dan kemiskinan yang tak henti semacam lagi-lagi Indonesia hari ini.
Jawaban dengan contoh tersebut menunjukkan ada kebutuhan keterkaitan, keserentakan, dan keseimbangan dalam penerapan prinsip-prinsip demokrasi di suatu bangsa semacam Indonesia. Misalnya menerapkan demokrasi dengan penekanan pada prinsip kebebasan membutuhkan penekanan yang sama pada prinsip rule of law, sebab kebebsan tanpa penegakkan hukum, ia akan berjalan liar, anarkis, tidak tertib, dan kacau, bahkan kriminalitas bisa makin meluas. Sebaliknya, penegakkan hukum tanpa memberi ruang kebebasan akan berakibat munculnya praktek otoritarian dan tindakan refresif yang berlindung atas nama hukum (h.4).
Karena faktor realitas suatu bangsa dan pilihan prioritas penerapan prinsip tertentu tersebut, maka model demokrasi antar bangsa-bangsa menunjukan wajah yang bervariasi. Realitas ini bisa diterima oleh konsep demokrasi sepanjang prinsip-prinsip dari demokrasi hadir dalam prosedur dan pelaksanaannya, karena demokrasi mengakui kemajemukan kultural dan kekhasan sejarah setiap bangsa. Namun, penyesuaian faktor sosio-kultural dengan prinsip-prinsip umum demokrasi tidak boleh meniadakan esensi demokrasi.
Oleh karena demokrasi memungkinkan penampakkan banyak wajah akibat proses adaptasi di suatu bangsa, maka para ahli sepakat tentang ciri-ciri suatu pemerintahan demokrasi sebagai tolak ukur ada atau tidak adanya demokrasi (liberal), yaitu (1) adanya keterlibatan rakyat dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan); (2) adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat; (3) adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara; (4) adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen; (5) adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh rakyat; (6) adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol; (7) adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, adil; dan (8) adanya pengakuan terhadap perbedaan keragamaan (h. 5).
Demokrasi untuk Keamanan dan Kesejahteraan
Kata melindungi dan menyuapi pada judul resensi ini, dimaksudkan melindungi maksudnya memberi rasa aman dan kata menyuapi makudnya memberi kesejahteraan. Kata melindungi dan menyuapi mempunyai makna semantik yang dalam sebagai metafora kasih sayang ibu kepada anaknya. Juga, mestinya sebagai kasih sayang negera kepada rakyatnya.
Jawaban atas pertanyaan di atas, yaitu untuk apa suatu bangsa memerlukan demokrasi (asas kebebasan, persamaan, penegakkan hukum, dan seterusnya) dan digunakan untuk apa, jawabannya dalam konteks kompleksitas permasalahan Indonesia hari ini adalah untuk memenuhi rasa aman kepada rakyat ( ȃmanahum min khauf), penegakkan keadilan (al adalah), dan memberi kesejahteraan rakyat (‘athamahum min j̑u̯i). Harapan ini memiliki landasan teoritiknya berdasarkan paham demokrasi sosial. Menurut paham ini, demokrasi tidak semata-mata dilihat dari aspek politik, melainkan demokrasi harus diisi dengan paham sosial, yaitu demokrasi untuk kesejahteraan rakyat (democtaric welfare). Pemerintahan demokrasi adalah pemerintahan yang diselenggarakan oleh rakyat untuk kesejahteraan umum. Menurut Alexander Petring et. al, yang dikutip Bagirmanan dan Susi Dwi Harijanti, negara kesejahteraan merupakan inti demokrasi (h.7).
Jadi, penerapan sistem demokrasi harus bermuara pada pencapaian tujuan demokrasi itu sendiri yaitu menciptakan keteraturan, keamanan, dan kesejahteraan rakyat sesuai dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia, antara lain melindungi segenap bangsa Indonesia (keamanan) dan memajukan kesejahteraan umum yang konsep dasar kesejahteraannya dirumuskan dalam Pancasila sebagai Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan, per konsep, sistem demokrasi menyediakan jalan untuk memenuhi janjinya, yaitu asas-asas dan prosedur demokrasi yang diterapkan secara konsisten dan seimbang atara semua unsur-unsurnya (syarat rukunnya) sebagaimana telah dikemukakan di muka tentang asas-asas dan ciri-ciri pemerintahan demokratis. Jadi, demokrasi seperti dukun, ia akan memenuh janji akan memberi keteraturan, keamanan, keadilan, dan kesejahteraan jika dipenuhi syarat sesajinya secara lengkap dan optimum (h. 10).
Kritik Terhadap Demokrasi
Dewasa ini, demokrasi dianggap sebagai system terbaik nomor dua (the second best system) karena juara pertama sebagai konsep sistem yang sempurna belum ditemukan, tepatnya belum disepakati adanya walaupun mungkin ada. Atau, dalam ungkapan Juan J. Linz, demokrasi liberal menjadi “the only game in town” (satu-satunya aturan yang berlaku). Memang faktanya, demokrasi telah mencatatkan kemenangan historis atas sistem pemerintahan di dunia. Dewasa ini hampir semua rezim di seluruh dunia berlomba mengaku atau mengubah dirinya sebagai rezim demokrat. Bahkan, setiap orang di sekitar kita mengaku sebagai seorang demokrat walaupun faktanya berprilaku otoriter (h. 13)
Demokrasi (liberal) memiliki alasan untuk melakukan klaim-klaim positif atas sukses ideologinya. Namun, kritik terhadap demokrasi liberal juga terus diarahkan bahwa demokrasi ini telah menciptakan struktur kapitalisme global yang tidak adil dan eksploitatif yang menciptakan tatanan ekonomi dan sosial yang mengundang konflik dan disharmoni; ketimpangan kesejahteraan yang sangat besar antara negara maju dan negara berkembang. Negara-negara berkembang yang menerapkan demokrasi liberal seperti Indonesia saat ini seolah bermimpi akan melahirkan kesejahteraan bersama (collective wellfare) dan mencapai kemajuan sebagaimana yang terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Namun kenyataanya yang terjadi justru pemeliharaan kemiskinan, pengangguran, kerusakan lingkungan, konflik, perpecahan, dan ketidakteraturan sosial (disorder), bahkan muncul semangat separatisme. Selain itu, distribusi ekonomi melalui kompetisi bebas atau pasar bebas seperti yang dibayangkan oleh kaum liberal ternyata tidak pernah terjadi. Faktanya pada negara yang menerapkan sistem ekonomi liberal terjadi ketidakadilan basis material dan struktur, karena basis ekonomi dikuasai oleh pihak-pihk yang kuat dan menguasai kapital, sehingga mengakibatkan ada rakyat kbanyakan yang kalah dan menjadi miskin (h. 15)
Kritik lain yang dialamatkan kepada demokrasi liberal adalah tentang konsep demokrasi liberal yang menempatkan moralitas sebagai urusan individual belaka dan tidak boleh mencampuri urusan umum. Demokrasi liberal mengenyampingkan urusan etika dan spiritualitas. Sistem kepercayaan dan agama adalah urusan individu yang tak boleh dibawa menjadi urusan negara. Karena itu, mungkin atas alasan ini praktek demokrasi di negeri kita kering nilai-nilai, norma, dan spriritualitas; terasa dalam gambaran kata keras, garang, anarkis, konflik, pecah, putus silaturahmi, sengketa, da seterusnya, (14).
Realitas tersebut, rasanya menggugah kesadaran untuk bersikap kritis terhadap praktek demokrasi kita dengan mengembangkan pemikiran-pemikiran kritis untuk membuat praktek demkrasi kita membawa hikmah dan manfaat bagi kemajuan bangsa ini. Memang, demokrasi liberal dalam contoh Amerika Serikat telah menunjukkan kemajuan, tapi juga bisa dicatat aspek negatifnya sebagaimana dikemukakan tadi. Mengambil hal positif dari demokrasi liberal merupakan sikap yang baik, tapi bersikap kritis untuk mencegah aspek negatifnya merupakan hal yang bijaksana. Terlebih tidak selalu demokrasi liberal dapat mengantarkan bangsa yang menerapkannya mencapai kesejahteraan seperti yang dicapai Amerika (h.18).
Dimensi Islam dalam Demokrasi
Kelemahan konnsep demokrasi yang kering nilai-nilai dan spiritualitas dapat dielnngkapi dengan konsep musyawarah yang telah hidup dalam idiologi dan tradisi bangsa Indonesia. Musyawarah (syuro) bukan sekedar mekanisme pengambilan keputusan, syuro merupakan konsep tentang prinsip norma dalam perilaku sosial politik dalam menyelesaikan masalah di samping sebagai mekanisme sosial teknis penyelesaian masalah kehidupan sehari-hari. Sebagai prinsip norma, syuro bagi umat Islam harus diyakini sebagaimana meyakini kewajiban shalat, dan zakat, sedangkan syuro sebagai pola mekanisme penyelesian masalah, bentuknya bisa menyesuaikan dengan perkembanan pemikiran dan realitas sosio-kultural masyarakat.
Prinsip-prinsip musyawarah dapat dipahami dalam Ali-Imran ayat 159. Tafsir ayat ini menegaskan musyawarah sebagai konsep norma, tidak nampak tekanan pada musyawarah sebagai cara teknis. Pelaksanaan musyawarah (demokrasi) harus berfungsi prinsip saling memberi maaf (al-‘afwu); prinsip tidak berbuat kejahatan kepada Tuhan sekaligus kejahatan kepada kemanusiaan; prinsip meminta ampunan kepada Allah s.w.t ( istigfar); prinsip saling nasehat, saling berpendapat, saling memberi pertimbangan untuk menemukan kebenaran sejati manusia (fa syawir); dan prinsip terakhir prinsip legowo atas keputusan akhir sambil berserah diri dan meminta pertolongan Allah untuk pelaksanaannya (tawakal) (h. 35-56)
Konsep demokrasi yang dijelaskan di muka memiliki aspek kesamaan pada level prinsip-prinsipnya dengan nilai-nilai universal Islam tentang sistem pemerintahan. Di dalam Islam tidak ada suatu bentuk pemerintahan yang baku. Bentuk pemerintahan Islam mengikuti alur perkembangan pemikiran manusia sesuai faktor-faktor sosio-historis dan perkembangan kebudayaan suatu bangsa. Namun demikian, bukan berarti bahwa Al Qur’an sama sekali tidak memuat petunjuk bagi kehidupan bernegara. Dalam rangka mengatur kehidupan bernegara, Al Qur’an menggariskan prinsip-prinsip dasar dan universal berupa seperangkat tata nilai etika dan hukum yang memadai untuk dijadikan landasan bagi kehidupan bernegara.
Prinsip-prinsip universal itu adalah (1) al maslahatu ȃmmah, artinya menegakkan kemaslahatan umum; (2) al ‘adalah, artinya menegakkan keadilan; (3) amar ma’ruf nahyil munkar, artinya mewujudkan kebaikan umum dan mencegah timbulnya kezaliman; (4) as-sawa, artinya menjamin adanya persamaan di kalangan warga negara; (5) as-syuro, artinya pengelolaan urusan negara diselenggarakan di atas prinsip musyawarah bersama rakyat; (6) al-akhlaq, berpegang pada tata nilai moral yang diajarkan Islam; (7) al- hurriyah ma’a mau’liyah, artinya ditegakkan kebebasan manusia disertai tanggung jawab; (b) tasamuh, artinya sikap tolerasn terhadap prbedaan, dan (9) al-tho’ah, artinya kepatuhan rakyat kepada uli al-amri sepanjang tidak membuat kebijakan maksiyat (h.51). Sedangkan tujuan pemerintahan dan bernegara ditujukan untuk untuk tujuan menjamin kecukupan ekonomi rakyat (ath’amahum min ju’) khususnya menyantuni fakir miskin dan yatim piatu sebagai symbol kaum du’afȃ, menjamin keamanan masyarakat (ȃmanahum min khaof), serta menegakkan kebaikan dan mencegah kejahatan (amar al-ma’ruf nahyi al-munkar), dan menegakkan keadilan ( al adalah). Bandingkan sebagian asas-asas pemerintahan Islam ini dengan sebagian asas demokrasi yang meliputi (a) kebebasan (liberty), (b) persamaan (equality), (c) kekuasaan mayoritas (majority rule), (d) toleransi, (e) keadilan (justice), (f) hukum dan keteraturan, (g) transparansi, (h) perundang-undangan (rule of law), dan (i) pluralisme.
Prinsip-prinsip pemerintahan Islam tersebut bisa digunakan oleh siapa saja atau bangsa mana saja jika dianggap cocok dengan kebututahan masyarakatnya tanpa syarat harus bergama Islam sebagamana umat Islam menerima nilai-nilai lain dari idiologi lain sepanjang sesuai atau setidak-tidaknya tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Inilah salah satu makna kontektual rahmatan lil alamin. Kata Mohammad Natsir, kaum muslimin yang hidup pada suatu zaman dan tempat tertentu di dunia ini, adalah bebas untuk menyusun negara mereka sendiri menurut cara-cara yang sesuai dengan keadaan mereka. Mereka pun berhak pula untuk mencontoh berbagai sistem pemerintahan yang telah dikembangkan oleh bangsa- bangsa lain meskipun mereka bukan bangsa Muslim. Karena menurutnya, prestasi sebuah peradaban tidaklah semata-mata menjadi hak milik mutlak masyarakat yang melahirkannya. Bangsa- bangsa lain berhak pula untuk menikmati penemuan-penemuan masyarakat lain bagi kepentingan dan kemaslahatan ummat manusia secara keseluruhan (32).
Manajemen Kepemiluan
Penyelenggaraan pemilu tidak semata-mata hanya untuk memenuhi kaidah teknis manajerial penyelenggaraan, tetapi juga untuk memenuhi kaidah subtansinya yaitu dalam kerangka mewujudkan asas-asas demokrasi yang diterjemahkan ke dalam asas pemilu menjadi asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Asas-asas ini harus nampak berfungsi pada keseluruhan perilaku orang yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu. Berfungsinya asas-asas pemilu dalam penyelenggaraan mesti berujung pada peningkatan kesejahteraan rakyat melalui kinerja calon terpilih sebagai orang terbaik, produk pilihan rakyat secara bebas, jujur, dan adil (h.137-138).
Dlam kerangka berfikir seperti itu, maka fungsi penyelenggaraan pemilu merupakan instrumen untuk memfasilitasi hidupnya budaya demokrasi yang ditandai hadirnya asas-asas pemilu dan asas-asas demokrasi serta lahirnya pemimpin terbaik hasil pilihan rakyat secara bebas, rahasia, jujur, dan adil ditambah ikhlas, bukan hasil pilihan politik uang yang memungkinkan terlahirnya pemimpin berkinerja buruk kelak setalah terpilih (h.138).
Fasilitasi hadirnya asas-asas demokrasi dalam pemilu itu harus nampak pada manajemen proses, manajemen tugas kepemiluan, dan visi kepemimpinan penyelenggara (komisioner). Manajemen proses yang disebut juga fungsi manajemen menunjuk pada pengambilan keputusan, perencanaan, pengorganisasin, koordinasi, komunikasi, evaluasi, laporan, dan seterusnya ( h. 68-166). Sementara manajemen tugas mencakup pembentukan badan ad hoc, bimbingan teknis, pemutakhiran data pemilih, sosialisasi dan pendidikan politik, kampanye, pemungutan suara, rekapitulasi, dan seterusnya (h. 167-225).
Hal yang penuh tantangan dalam manajemen proses adalah pembuatan keputusan. Tantangan yang bertemali dengan pembuatan keputusan ialah (1) tersedianya data/informasi yang memadai, (2) tersedianya payung hukum yang jelas, (3) risiko buruk yang mungkin diterima akibat keputusan yang dianggap “merugikan” calon tertentu, dan (4) tekanan yang bernuansa kepentingan dari lingkungan politik. Masing-masing faktor tantangan memiliki kadar yang berbeda-beda pada setiap tingkatan struktur penyeenggara (h. 72)
Situasi kesulitan itu diminimalisasi oleh KPU, KPU kabupaten/kota khususnya, dengan cara (1) pengokohan ketegaran etik, (2) peneguhan ketaatan hukum, (3) kesanggupan menerima risiko apapun atas suatu keputusan yang diyakini benar, dan selebihnya (4) mohon perlindungan kepada Allah s.w.t ( tawakal). Solusi yang bersifat kmpromi politik mutlak harus dihindari karena solusi apapun produk kompromi tentang suatu ketentuan pasti ada kebenaran yang ditransaksikan dan hal ini pasti melanggar hukum (h. 75).
Ketegaran etik di samping profesonalitas bagi penyelenggara (komisioner) merupakan benteng pertahanan menahan gempuran risiko kerja yang senantiasa mengancam komiosner, yaitu (1) potensi tekanan politik dalam bentuk kecaman, ancaman, dan amukan, juga bujukan uang dan (2) potensi gugatan pidana, administrasi, gugatan etik, dan gugatan hasil pemilu. Risiko semacam ini dihadapi pula oleh lembaga publik lainnya. Namun, bagi lembaga KPU, risiko ini menjadi lebih mungkin karena karakteristik garapan kerja helaran kompetisi politik yang biasanya penh untrik tak beretik, bahkan cenderung praktek politik menghalalkan segala cara sebagaimana kata Niccolò Machiavelli (1469 – 1527 M) (h. 149). (h. 148).
Hal yang menarik dicatat dari bidang kerja kepemiluan menurut pendekatan manajemen tugas dalam buku ini ialah tentang pemilih, sosialisasi dan pendidikan politik, persyaratan calon, dan fungsi kampanye. Pemilih menempati posisi penting dalam pemilu, bahkan sangat penting. Nilai pentingnya terletak pada (a) partisipasinya datang ke TPS menggunakan hak pilih dan (b) alasannya menentukan hak pilih untuk calon tertentu. Partisipasi dalam pemilu diartikan sebagai keterlibatan pemilih dengan datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya. Partisipasi pemilih dalam lingkungan KPU dimaknai sebagai salah satu indikator keberhasilan penyelenggaraan pemilu. Padahal, belum ada kesepakatan di kalangan para ahli mengenai prosentase batas atas dan batas bawah sebagai standar baku suatu partsisipasi disebut tinggi atau rendah Namun, sebagai pertimbangan dapat dirujuk pernyataan dalam laporan Economist Inteliigence Unit (EIU), bagi suatu negera yang demokrasinya sudah mapan, partisipasi pemilih berada pada kisaran 70 %. (h. 185).
Menggunakan tingginya prosentase angka partisipasi pemilih sebagai ukuran keberhasilan pemilu belum tentu menunjukkan keberhasilan demokrasi, karena jumah angka kehadiran ke TPS belum menjelaskan telah berfungsinya asas-asas demokrasi pemilu. Bisa jadi, kehadirannya tidak atas dasar kesukarelaan (voluntaritas) tetapi karena mobilisasi dan politik uang. Kalau pun tingginya kehadiran ke TPS tanpa mobilisasi dan politik uang, masih perlu diusut dari segi alasan memberikan hak pilih kepada calon tertentu, apakah atas dasar kualitas visi, misi, dan program calon yang diketahuinya saat kampanye atau berdasarkan alasan subyektif lain seperti alasan kedektan dan kepentingan pragmatis (h. 186-188).
Dalam rangka upaya peningkatan partisipasi kualitatif atas dasar kesukrelaan ( voluntaritas) tidak sekedar partisipasi kuantitatif, maka penting melakukan upaya-upaya (1) peningkatan pendidikan politik di luar pemilu dan (2) menghadirkan fungsi kampanye sebagai pendidikan politik (h. 189). Problema kesukarelaan (voluntaritas) dan alasan pemilih menentukan pilihan bertemali dengan proses pendidikan politik bagi pemilih. Pendidikan politik bagi pemilih adalah proses penyampaian informasi kepada Pemilih untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan kesadaran pemilih tentang pemilihan umum. Sementara, pendidikan politik dalam pengertian yang lebih luas, didefinisikan sebagai proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pendidikan politik bagi pemilih penting dilakukan sebagai upaya membangun budaya demokrasi, yakni budaya mengamalkan asas-asas pemilu dan asas-asas demokrasi dalam perilaku subyek-subyek pemilu dan subyek politik. Pndidikan politik mememukan urgensinya secara empirik berkenaan dengan realitas perilaku pemilih dalam menentukan pilihan kepada calon tertentu berdasarkan alasan pragmatis dan emosional. Gerakan kultural pendidikan politik untuk melengkapi kebijakan struktural yang ditempuh selama ini. Pembangunan demokrasi yang ditempuh sekarang ini sejak reformasi dibangun dengan tekanan pada pendekatan struktural dan lemah pada pendekatan kultural. Padahl, peraturan baru dan lembaga baru tidak akan pernah efektif di tangan orang yang tidak nilai-nilai dan perilakunya tidak kompatibel dengan tuntutan perilaku baru yang dibutuhkan oleh sistem demokrasi baru (190-200).
Pendidikn politik dalam pemilu berlangsung pada tahapan kampanye melalui interaksi edukatif antara calon/tim kampanye dengan pemilih dengan untuk meyakinkan pemilih tentang visi, misi, dan program sebagai bahan pertimbangan pemilih menentukan pilihan terhadap calon tertentu. Proses edukatif diharapkan berlangsung dalam dialog tentang materi visi, misi, dan program calon yang memuat tentang rencana pembangunan dan isu-isu pembangunan yang dihadapi. Berdasarkan informasi program, pemilih akan sampai pada kesimpulan siapa calon yang paling memberikan harapan kesejahteraan. Dari sini, pemilih menetapkan calon pilihannya dan datang ke TPS secara sukarela untuk memberikann hak pilihnya kepada calon yang dianggap paling potensial mampu mengupayakan kesejahteraan rakyat (h.210-211).
Kpemimpinan dalam Manajemen Kepemiluan
Kualitas manajemen proses dan manajemen tugas kepemiluan tersebut, ditentukan oleh (1) visi komisoner tentang makna pemilu dalam kerangka demokrasi dan kesejahteraan dan (2) kinerja kepemimpinan komisoner sebagai pemimpin sekaligus manajer penyelenggaraan pemilu. Sementara kualitas kepemimpinan komisioner, ditentukan oleh pemenuhan standar kompetensinya pada saat rekruitmen calon anggota. Kompetensi komisioner meliputi (a) kompetensi kepribadian, (b) kompetensi manajerial, (c) kompetensi profesional, dan (d) kompetensi sosial ( 117-129 dan h, 243).
Karakteristik sifat-sfat dan gaya kepemimpinan komisioner mestinya terbentuk oleh (1) asas-asas dan kode etik penyelenggara pemilu dan (2) kekhasan garapan utama (core business) lembaga penyelenggara pemilu. Dua dimensi itu mestinya berpengaruh terhadap pembentukan karakteristik kepemimpinan penyelenggara pemilu, dalam hal ini komisioner. Asas-asas dan kode Etik merupakan satu kesatuan landasan norma moral, etis dan filosofis yang menjadi pedoman bagi perilaku penyelenggara pemilihan umum yang diwajibkan, dilarang, patut atau tidak patut dilakukan dalam semua tindakan dan ucapan (245).
Sisi lain yang dapat membentuk karakteristik kepemimpinan komisioner adalah kekhasan garapan kerja penyelenggara pemilu, yaitu garapan kerja yang beroperasi pada bidang kepemiluan yang berlandaskan pada asas-asas demokrasi sebagaimana disebutkan di muka. Nilai-nilai demokrasi dalam bidang kepemiluan mestinya memberi corak terhadap sifat-sifat dan gaya kepemimpinan pada lingkungan penyelenggara pemilu seperti juga karakteristik kepemimpinan pada organisasi seni, organisasi militer, organisasi olah raga, dan organisasi profesi yang karekteristik kepemimpinannya diberi corak oleh kekhasan garapan organisasinya (h.246).
Sejalan dengan misi pemilu yang memfasilitasi demokrasi, maka kepemimpinan komisioner pun mesti dijiwai semangat dan orientasi pada upaya mewujudkan tujuan demokrasi dan cita-cita peroklamasi kemerdekaan, yaitu mewujudkan keamanan, ketertiban, dan kesejahteraan rakyat. Tujuan ini mestinya menjadi nilai-nilai yang memberi semangat dan landasan paradigma bagi subyek-subyek yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu
”.
Penilaian Buku
Membaca buku ini akan memperoleh manfaat (1) mengingatkan tentang esensi tujuan berdemokrasi, yaitu mewujudkan ketertiban, keamanan dan kesejahteraan; (2) menumbuhkan sikap kritis terhadap praktek demokrasi (liberal) saat ini disertai solusinya; (3) segi kecocokkan asas-asas demokrasi dengan nilai-nilai universal Islam tentang sistem kenegaraan ; dan (4) menumbuhkan kesadaran urgensi menjaga penyelenngggaraan pemilu yang menjamin lahirnya pemimpin yang mensejahterakan rakyat.
Buku ini bukan tanpa kelemahan. Kelemahannya adalah terkadang ada materi atau data yang diulang yang nampaknya terpaksa harus dilakukan untuk menjaga keutuhan gagasan serta meringankan tugas pembaca untuk tidak membuka topik pada lembaran seelumnya atau bisa jadi ada pembaca yang tidak membaca sejak awal buku ini. Kelemahan lainnya adalah ditemukan beberapa kesalahan pengetikan huruf berupa kurang atau double huruf pada kata, sehingga sedikit mengganggu pembacaan.
Penutup
Buku ini termasuk jenis buku teks atau buku referensi yang membahas manajemen pemilu dengan pendekatan teoritis dan praktis yang masih jarang dijumpai di toko buku, bahkan belum pernah dijumpai. Buku ini relevan dibaca oleh penyelenggara pemilu, aktivis partai politik, pemerhati politik, mahasiswa pada program studi yang relevan, dan lain-lain. Diharapkan ada nilai manfaat dari buku ini bagi manajamen kepemiluan yang membangun budaya demokrasi politik dan demokrasi sosial untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Ketersediaan
34207KHOm1 | 342.07 KHO m | Tersedia | |
34207KHOm2 | 342.07 KHO m | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri |
-
|
---|---|
No. Panggil |
342.07 KHO m
|
Penerbit | : Sidoarjo., 2016 |
Deskripsi Fisik |
viii,231 hlm;15,5 x23 cm
|
Bahasa |
Indonesia
|
ISBN/ISSN |
978-602-70407-3-1
|
Klasifikasi |
342.07
|
Tipe Isi |
-
|
Tipe Media |
-
|
---|---|
Tipe Pembawa |
-
|
Edisi |
-
|
Subyek | |
Info Detil Spesifik |
-
|
Pernyataan Tanggungjawab |
-
|
Versi lain/terkait
Tidak tersedia versi lain